SENI GAMBAR KONTEMPORER INDONESIA: Gambar dalam
Perjalanan Sejarah Seni Rupa Barat
Oleh: ASMUDJO J. IRIANTO
BERNETT Newman, salah satu seniman
papan atas Amerika, pernah berujar manusia yang pertama menjadi seniman adalah
pada saat dia menorehkan sebuah garis di atas permukaan tanah menggunakan
sebilah kayu. Torehan garis tersebut bisa dianggap sebagai gambar pertama.
Gambar tampaknya selalu menyertai perjalanan peradaban dan kebudayaan manusia.
Karena itu, tak mengherankan jika gambar menjadi wilayah sangat penting dan tak
dapat dipisahkan dari dunia seni dan seniman. Sebetulnya “menggambar”, seperti
corat-coret, membuat sketsa, membuat bagan dan sebagainya merupakan salah satu
cara seniman (dan para perancang) dalam menvisualisasikan gagasan yang ada
dalam kepalanya. Karena itu menggambar sesungguhnya juga merupakan upaya
pengkongkretan imajinasi, gagasan seniman. Tentu saja setiap bentuk karya seni
sesugguhnya merupakan bentuk pengkongkretan gagasan sang seniman, namun gambar
menduduki posisi istimewa sebab dalam prosesnya merupakan visualisasi konkret
yang paling awal, spontan dan langsung. Hal itu diutarakan dengan gamblang oleh
G. Sidharta Soegijo: “Salah satu cara yang paling langsung untuk menghubungkan
proses berpikir, yang berlangsung secara abstrak, dengan bentuk visual, yang
konkret, adalah melalui gambar.”
Dalam nada yang sama, Kate
Macfarlane dan Katharina Stout berujar: “It is to drawing that many artists
turn when they are not sure how to proceed with a particular line of enquiry,
or how to realise an ambitious proposal. As Avis Newman suggests, drawing
offers the most direct access to the intimate workings of the artist’s mind: ‘I
have always understood drawing to be, in essence, the materialisation of a
continually mutable process, the movements, rhythms, and partially comprehended
ruminations of the mind: the operations of thought. For this reason alone,
drawing will always be at the heart of the visual arts‘.”
Gambar menjadi bagian penting dalam
perjalanan seni rupa Barat sejak masa Renesans sampai pada masa modern. Akademi
seni di Eropa sejak abad 16 sampai abad 19 menekankan pentingnya gambar sebagai
tulang punggung seni lukis dan seni patung. Apa yang dikenal sebagai
akademisme, tak lain adalah formulasi dan pendekatan seni rupa yang menekankan
pentingnya kemampuan menggambar bagi seorang seniman. Hal itu bisa kita lihat
dari peninggalan gambar-gambar para pelukis-pelukis terkenal Eropa sejak masa
Renesans sampai era seni rupa modern. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa
gambar—atau lebih tepat seni gambar—menjadi kategori seni yang otonom baru
beberapa tahun belakangan ini.
Agaknya, fungsi gambar sebagai
preparatory—kerja persiapan untuk menghasilkan lukisan—menjadikan gambar
tenggelam di bawah medium atau kategori seni yang disokongnya, yaitu seni
lukis, seni patung dan seni grafis. Menjadi perangkat preparatory
menjadikan gambar dibutuhkan, namun sekaligus diletakkan bukan sebagai tujuan
akhir. Kendati gambar, atau kemampuan menggambar merupakan hal penting dalam
seni lukis dan seni patung, namun hal itu lebih bertautan dengan proses
penyiapan dalam eksekusi lukisan. Tentu saja yang dianggap lebih penting adalah
hasil akhir atau tujuan akhir, yaitu lukisan atau patung. Tujuan akhir
merupakan supremasi, dan dalam tradisi fine art apa yang menjadi akhir adalah
yang utama, seperti dijelaskan oleh Mortimer J. Adler: “These are the arts
that later came to be called the fine arts, when the word ‘fine’ is understood
to mean ‘finis’ and to signify that the works produced by these arts were
things to be enjoyed for their own sake, not to be used as means to further
ends.”
Sejak masa Renesans ketrampilan
menggambar menjadi bagian penting dalam melukis. Sejak masa Renesans pula seni
lukis menjadi kategori seni tinggi (high art) yang otonom. Maka tak
mengherankan di era seni rupa modern, lukisan merupakan kategori seni yang
paling penting. Ironisnya supremasi seni lukis dicapai melalui dukugan yang tak
lekang dari gambar. Agaknya, karena terlalu lama menservis seni lukis dan
patung menyebabkan status atau kedudukan gambar menjadi problematik,
sebagaimana diutarakan oleh Emma Dexter, “Yet the medium’s status has always
been problematic, due to its servitude to the arts of painting and sculpture,
as well as its association with preparation and incompletion.”
Pelukis kenamaan Perancis Ingres
pernah berujar mengenai pentingnya gambar untuk painting, “If I were to put
a sign above my door, it would read School of Drawing, and I’m certain that I
would produce painters.” Hal itu tampaknya berlaku secara universal.
Bukankah hal itu pula yang telah dibuktikan oleh Balai Universitas Pendidikan
Guru Gambar (dibuka tahun 1947) yang menjadi cikal bakal seni rupa ITB?
Untuk menjadi kategori seni yang
otonom ternyata gambar masih membutuhkan perjalanan panjang. Seni rupa modern
yang lebih mementingkan konsep, semakin menempatkan gambar—sebagai proses
preparatory—semakin tidak penting. Dari masa Renesans sampai akhir abad 19
virtuositas menggambar sepertinya menjadi keharusan bagi seniman agar dapat menghasilkan
karya lukis dan patung yang berkualitas. Sebaliknya seniman modern justru
mencurigai hal-hal yang berkait dengan aspek ketrampilan, termasuk ketrampilan
menggambar. Deanna Petherbridge, seorang prefesor dalam bidang gambar
menjelaskan situasi diametrikal antara masa klasik dengan kepercayaan pada
pendekatan akademik melawan masa modern yang mendestruksi pendekatan akademik,
“The practice of art in this century has been no less closely tied to
education than it has in other times. Eighteenth-century neoclassicism, for
example, is as closely allied with the spread of the academies. As modernism
has been with the destruction of the academic system. The academy, as we all
know, was posited on the teaching of life gambar, in fact learning art in the
West since Renaissance has been entirely to do with question of disegno—as both
drawing and composisitional design.”
Maka tak mengherankan jika bagi para
seniman modernis, gambar, khususnya dalam pendekatan akademis menjadi wilayah
yang tidak penting. Tentu saja seniman modern tetap membutuhkan visualisasi
bagi gagasan dan pemikirannya, namun hal tersebut tak harus diterapkan melalui
ketrampilan gambar yang canggih. Gambar atau sketsa yang dihasilkan oleh para
seniman modern, konseptual dan avant garde tidak menunjukkan virtuositas gambar
seperti para seniman di abad-abad sebelumnya. Formalisme dan pencarian esensi
seni lukis telah menggeser pentingnya gambar sebagai proses preparatory
untuk melukis. Karena itu segi ketrampilan menggambar ala akademisme (kemampuan
gambar anatomis) makin hilang dan tidak penting di masa-masa seni rupa modern
dan era neo avant-garde, yaitu masa-masa transisi dari seni rupa modern
menuju seni rupa kontemporer.
Demikian pula, di masa-masa tersebut
akademi seni rupa di Barat memandang pembekalan ketrampilan, termasuk gambar
semakin tidak relevan, dan mengurangi secara drastis mata kuliah menggambar.
Hal yang dikenal dengan sebutan de-skilling ini berkaitan (catatan dari
subject of art) dengan arahan dan prioritas utama pada segi konsep. Proses
menuju de-skilling ini agaknya sesuai dengan paradigma seni rupa modern, dan
dalam beberapa hal kemudian juga ditunjukkan oleh seni rupa
kontemporer—khususnya dalam karya-karya yang bersifat transgresif. Kendati
kemudian juga terbukti bahwa seni rupa kontemporer menunjukkan pula karakter
yang berlawanan dengan kecenderungan de-skilling, yaitu munculnya
kembali (revival) kebutuhan terhadap skill atau ketrampilan.
Gambar Sebagai Wilayah Otonom dalam
Seni Rupa Kontemporer
Setelah di akhir tahun 60-an sampai
tahun 80-an gambar dianggap kurang penting dalam ruang lingkup pendidikan seni
rupa, maka tahun 90-an ditandai dengan kegelisahan karena makin berkurangnya
kemampuan menggambar para mahasiswa seni rupa. Ada upaya-upaya untuk “back
to basic”, yaitu mengembalikan gambar sebagai variabel penting dalam seni
rupa—termasuk dalam pendidikan tinggi seni rupa. Hal itu misalnya ditunjukkan
oleh sebuah konferensi yang diadakan oleh Tate Gallery tahun 1993-1994 mengenai
The role of drawing in Fine Art Education. Hal itu kemudian ditandai
pula oleh dibukanya program studi gambar di beberapa perguruan tinggi seni rupa
di Barat.
Di masa sebelumnya, kita tahu bahwa
seni lukis modern yang puncaknya ditunjukkan oleh abstrak ekspresionisme
mengalami kebuntuan. Perkembangan lebih lanjut yang ditunjukkan oleh Pop
Art, Conceptual Art dan Minimal Art merupakan masa transisi dari seni rupa
modern menunju seni rupa kontemporer. Penentangan pada konteks spiritual
kesenimanan dan sublimasi seni lukis menyebabkan seni lukis pada awal tahun
70-an mendapatkan stigma, dan untuk beberapa saat mengalami titik nadir. Performance,
happening, eart art, dan bentuk-bentuk seni patung dalam sense sculpture
in extended field menjadi utama. Hal itu kemudian disusul oleh new media
art. Namun secara perlahan tapi pasti seni lukis kembali menunjukkan
kebangkitannya. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer
bangkit dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium
representasional—bukan sebagai entitas esensial dan sublim seni rupa.
Pluralitas seni rupa kontemporer
menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi
pemikiran (teori), konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul
seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah
globalnya. Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan
penentu di balik praktek produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai
contoh, tak bisa disangkal bahwa kebangkitan seni lukis tidak lepas dari
maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya art-fair di
pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.
Yang menarik, bangkitnya gambar atau
lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini ditengarai tidak lepas dari
come-backnya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa kontemporer
dengan kepercayaan pada pluralisme dan “apapun boleh” (anything goes)
tidak memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis. Agaknya, melihat hal
itu, para seniman yang tertarik dengan gambar sebagai kemungkinan medium seni
rupa kontemporer mulai menampilkan dirinya. Karena itu Emma Dexter, editor
Vitamin D (buku kompilasi seniman gambar yang paling komprehensif saat ini)
berpendapat bahwa popularitas seni gambar sedikit banyak disebabkan oleh kembali
populernya seni lukis: “In painting’s slipstream followed the shy sibling,
gambar, arriving without any apologies or explanation. Gambar had never been
widely theorized in its own right, allowing the field to be open for the
artists to make of it what they choice.”
Selain itu, popularitas seni gambar
ditengarai dodorong oleh arus balik pada hal-hal yang lebih moderat dan
sederhana, setelah praktek seni rupa tahun 70an sampai 90-an disibukkan oleh
aspek monumental seni. Hal itu diutarakan oleh Emma Dexter: “But when
drawing first started to emerge autonomously in the mid-1990s, it was also the
perfect medium to contrast with the sort of art that preceded it. Circa 1990,
contemporary exhibition were dominated by a form of monumentalism, one that
ironically trumpeted its decosntruction of the monument yet aped the monument’s
hunger for the space, power and theatricality.”
Seni Gambar Kontemporer Indonesia
Dalam konteks seni rupa modern
Indonesia gambar atau istilah gambar menduduki posisi penting. Sebelum istilah
seni atau seni lukis dipergunakan dan populer, maka “gambar” merupakan istilah
yang kerap dipergunakan untuk menunjuk beragam seni rupa 2 dimensi. Tentu kita
masih ingat keberadaan Persagi, singkatan dari persatuan ahli-ahli gambar
Indonesia, kendati yang terutama dipraktekkan adalah seni lukis. Istilah gambar
dapat merujuk pada seni lukis karena seni lukis selalu menggambarkan seseorang
atau sesuatu, lukisan adalah gambar atau gambaran tentang sesuatu. Hal itu juga
menunjukkan bahwa istilah gambar, khususnya dalam konteks budaya Indonesia masa
lalu memiliki pengertian yang lebih luas dari pengertian drawing. Sanento
Yuliman almarhum dengan cakap menjelaskan hal tersebut: “Yang pertama-tama
perlu diingat dalam membicarakan gambar ialah bahwa kata “gambar” mempunyai
lingkup pengertian yang luas. Yang tampak di layar televisi ketika pesawat
dihidupkan, yang kelihatan di layar bioskop ketika film main, demikian juga
foto di harian dan majalah, lukisan, peta, denah, grafik, dan sebagainya, itu
semua dalam bahasa Indonesia disebut “gambar”.
Saat ini pengertian istilah gambar
tampaknya menyempit, khususnya dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia,
mendekati pada pengertian drawing dalam bahasa Inggris. Namun demikian apa yang
diutarakan Sanento Yuliman menunjukkan bahwa potensi seni rupa—apapun
mediumnya—sebagai wilayah penggambaran (representasi) sesuatu hal atau
persoalan merupakan hal yang mudah diterima sejak lama. Karena itu, tak
mengherankan jika gambar sebagai wilayah atau kategori seni yang otonom mudah
diterima oleh masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh penerimaan yang cukup
terbuka pada karya-karya seni gambar. Terbukti, saat ini beberapa seniman muda
menjadi populer semata-mata menggunakan teknik/medium gambar dalam berkarya.
Pameran ini menandai apa yang
dijelaskan oleh Laura Hoptman, “it also mark a moment when drawing has
become a primary mode of expression for the most inventive and influential,
artist of the time.” Terbukti, wajah seni rupa kontemporer Indonesia
ditandai oleh karya-karya yang dikerjakan dengan teknik gambar dan masuk dalam
kategori gambar, atau dalam hal ini lebih tepat disebut seni gambar. Barangkali
istilah seni gambar terlalu berlebihan, sebab dalam bahasa Inggris cukup
disebut drawing, bukan drawing-art. Namun, penyebutan seni gambar
memang sebuah penekanan, seperti juga istilah seni lukis dan seni patung yang
merupakan padanan istilah painting dan sculpture. Dengan
demikian, jelas bahwa pameran ini berkenaan dengan gambar sebagai karya seni,
khususnya dalam konteks seni rupa kontemporer.
Namun demikian, saat ini, tak mudah
menetapkan secara tegas batasan seni gambar. Dalam beberapa hal seni gambar
bergerak masuk dalam batasan seni lukis. Hal itu contohnya ditunjukkan oleh
beberapa seni kontemporer kelas dunia yang karyanya dianggap sebagai drawing,
namun juga diketegorikan sebagai painting. Menurut Emma Dexter karya-karya
Marlene Dumas dan Elizabeth Payton menunjukkan kualitas “antara” (drawing
dan painting): “In the case of Dumas, gambar has always featured
heavily in her exhibitions, the juxtaposition between the more final and
‘developed’ form of painting and the immediacy of gambar being an essential
element in the presentation of her work. In other cases, artists such as
Elizabeth Peyton and Katharina Wulff have blurred the distictions between
drawing and painting, transferring some of the fragility and immediacy of
drawing into their painting. Using thin paint or combining media to leave the
white ground uncovered, thus gaining an increased sense of immediacy and responsiveness
from a medium often associated with closure and ponderausness.
Penjelasan serupa ditunjukkan oleh
Deanna Petherbridge, yang merujuk karya David Salle dan Anish Kapoor: “Salle’s
triptych ‘walking the dog’ of 1982 is in oil and acrylic on cotton, although it
is andoubtedly drawn in line, and Kapoor’s gouaches and moulded paper pieces
from his Tate exhibition of 1989 are designated ‘gambar’ althought they have
nothing to do with line.”
Dengan ketiadaan spesifikasi medium,
maka cukup sulit untuk menetapkan definisi gambar yang pasti. Kita sepertinya
“mengerti” apa itu gambar, namun benarkah demikian? Karena apa yang kita sebut
gambar bisa cukup beragam dan berbeda karakternya. Di sisi lain cairnya batasan
gambar justru merupakan sebuah berkah, karena akan melebarkan
kemungkinan-kemungkinan seni gambar, pun tak masalah jika tumpang tindih dengan
wilayah atau medium lain. Bukankah atmosfir seni rupa kontemporer ditandai oleh
ketidaksukaan pada batasan yang pasti dan definitif?
Sebelumnya disebut bahwa di masa
lalu gambar belum sampai pada kondisi otonom. Namun jika sekarang gambar
menjadi medium yang “otonom” tentunya tidak dalam sense beranalogi dengan
otonomi seni yang kaku. Karena seni sebagai wilayah otonom dianggap sebagai
konstruksi yang diangan-angankan oleh seni rupa modern—yang terbukti tidak
tercapai. Yang dimaksud gambar sebagai seni yang otonom adalah keberadaan
gambar sebagai tujuan akhir ekpresi seni—bukan sebagai preparatori atau sketsa.
Karena itu karakter bahwa seni gambar menjadi medium akhir (selesai sebagai
karya seni) tidak diikuti oleh ketentuan formulatif atau absolut mengenai
“kebenaran” seni gambar. Seni gambar mengikuti kaidah seni rupa kontemporer
yang pluralis: segala macam kemungkinan seni gambar berhak hidup. Karena itu,
menurut para pengamat, seni gambar mengalami kemajuan yang sangat pesat,
sehingga batas-batasnya pun meluas, yang dalam istilah Emma Dexter disebut drawing
within an expanded field —mengingatkan kita pada istilah sculpture in
the expanded field.
Harus diakui Pameran Seni Gambar
Kontemporer bukanlah upaya menyuruk untuk memeriksa sejauh mana seniman
menterjemahkan atau mencari kemungkinan seni gambar. Arah yang diambil dalam
pameran ini lebih sederhana, yaitu menunjukkan bahwa gambar dapat menjadi media
yang otonom untuk ekpresi kesenian—dalam konteks seni rupa kontemporer. Karena
itu, sekali lagi, penyebutan seni gambar merupakan penekanan bahwa medium atau
teknik gambar merupakan pilihan utama sang seniman dalam menghasilkan karya
seni. Dengan kata lain pameran ini menekankan bahwa karya-karya yang
ditampilkan adalah karya-karya dengan tujuan akhir adalah “karya seni” yang
“selesai”, bukan semata-mata eskperimentasi gambar. Dalam upaya meletakkan
gambar—yang selama ini dipandang sebagai proses preparatori untuk seni lukis
dan patung, atau visualisasi awal gagasan—sebagai sebuah karya “seni gambar”
yang mandiri maka meletakkannya sebagai kemungkinan representasi agaknya
menjadi pilihan utama dalam pameran ini.
Maka, dalam pameran ini, konten
representasi menjadi alibi bahwa karya yang ditampilkan adalah karya seni.
Dengan kata lain pameran ini menegaskan bahwa dengan teknik gambar pun konten,
subyek matter atau permasalahan yang hendak disuarakan dapat tampil dengan
maksimal. Karena itu, bukan tanpa alasan bahwa para seniman diminta untuk
menyuguhkan kemungkinan teknik gambar di atas kanvas. Hal ini tentu saja sama
sekali tidak menciderai pengertian gambar, sebab istilah drawing on paper,
menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan seperti juga
kemungkinan drawing on canvas. Lagi pula hal tersebut pun telah ditunjukkan
oleh banyak seniman yang memanfaatkan teknik gambar di atas kanvas dalam
karya-karyanya. Bagaimanapun kanvas memiliki aura yang lebih dibandingkan
kertas. Tentu saja hal ini tidak meniscayakan bahwa gambar di atas kertas lebih
rendah. Pada akhirnya adalah persoalan pilihan, beberapa seniman memilih tetap
menampikan karya seni gambar menggunakan kertas.
Namun demikian, terlepas dari
konteks konten dan representasinya, perkara keragaman, eksplorasi dan konsep
tentang gembar juga menjadi bagian penting yang menyertai pameran ini.
Keragaman dan berbagai pendekatan gambar ditunjukkan dalam pameran ini, baik
dari pengertian yang paling konvensional, sampai seni gambar yang cukup
eksperimental. Demikian pula muncul karya-karya gambar yang sulit dibedakan
dengan seni lukis. Hal itu harus diterima sebagai refleksi beragamnya
pengertian dan kemungkinan seni gambar.
Selain itu, cukup menarik bahwa
popularitas seni gambar muncul saat seni media baru menjadi bagian penting
dalam seni rupa kontemporer. Agaknya ada relasi mutualistis, komplemen dan
saling melengkapi. Perkembangan teknologi digital agaknya menyebabkan servis
gambar terhadap proses melukis, khususnya seni lukis realis—yang kembali
populer belakangan ini.—menjadi sangat berkurang. Saat ini proses penyapan dan
pengerjaan seni lukis dan patung lebih mudah dibantu dengan perangkat digital,
seperti kamera digital, software komputer dan proyektor LCD. Hal ini semakin
membebaskan tugas gambar sebagai alat atau media bantu bagi seni lukis.
Barangkali karena itu, belakangan banyak seniman memanfaatkan gambar sebagai
wilayah otonom, sebagai terminal akhir praktek seninya. Yang menarik, bahkan
seniman gambar pun saat ini memanfaatkan bantuan foto dan proyektor LCD dalam
prose’s penyiapan dan pengerjaan seni gambarnya.
Tentu disadari bahwa pameran ini
tidak akan dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan inlukisf mengenai
kenyataan sesungguhnya seni gambar dalam medan seni rupa Indonesia. Namun
demikian, sebisa mungkin diupayakan keragaman seni gambar dapat diperlihatkan.
Hal itu ditunjukkan mulai dari seni gambar yang menunjukkan kepiawaian
membentuk dengan tarikan garis yang ekspresif dan artistik sampai karya-karya
yang serupa dengan gambar komik.
Seperti telah disebutkan di awal
bahwa gambar selalu menyertai peradaban dan kebudayaan manusia. Segala jenis
citraan dalam kebudayaan tradisi umumnya merupakan gambar, baik berupa
sungging, rajahan, maupun ukiran di berbagai material. Karena itu dirasa penting
untuk menampilkan seni gambar dari ranah tradisi, dan sepertinya Bali merupakan
wilayah yang paling tepat untuk dipilih. Bagaimanapun di Bali gambar sebagai
sebentuk seni tradisi dapat bertahan dan tembus ke era modern. Hal itu
ditunjukkan bagaimana para seniman Bali legendaris macam Lempad dan banyak
lainnya dapat mengindividuasi pakem gambar tradisi menjadi suatu karya yang
personal namun tetap dapat menunjukkan identitas dan karakter ke Balian. ***
(Catatan ini rencananya menjadi
pengantar dalam katalog Pameran Seni Gambar Kontemporer yang pamerannya telah
diselenggarakan tahun 2009 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta)
*) Penulis adalah Kurator dan staf pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB.